Belajar mengenai diriku sendiri,
sesuatu yang sebelumnya tidak kusadari akan benar-benar terjadi. Diriku sendiri
yang kupikir lebih logis dalam bertindak dan mengambil keputusan, ternyata
tidak seutuhnya demikian. Aku selalu berpendapat bahwa hanya dalam kisah drama
televisi perasaan yang sama sekali irasonal itu benar-benar ada. Aku selalu
memandang sebelah mata mereka yang ditampilkan dalam kisah penuh romansa cinta
yang sulit dipahami dengan pikiran saja. Tapi beberapa jam lalu, aku
melakukannya.
Sejak awal, pandanganku sama,
bahwa dalam membangun kehidupan materi bukan sesuatu yang bisa diabaikan, meski
bukan yang bisa dijadikan sandaran. Aku sangat paham bahwa ada begitu banyak
kebutuhan yang seharusnya dipenuhi dengannya, dan memang sangat membutuhkannya.
Di lain sisi aku juga sangat paham bahwa kebahagiaan batin bukan hanya
ditentukan oleh itu, entah apa namanya, yang jelas untuk mencapainya perlu
perpaduan yang sesuai antara keinginan batin dengan ketersedianya materi.
Seberapa banyak yang dibutuhkan tentu tidak sama, bisa jadi yang dianggap di
bawah batas standar nilai kekayaan secara umum itu lah yang justru mencapai
bahagianya. Tapi ada pula, yang mengaku tidak akan pernah mencapainya sebelum
batas tertentu yang direncanakan belum diraih.
Hari ini, beberapa jam lalu, aku
disuguhkan satu kepingan waktu yang membuatku harus memutuskan antara garis
batas logika dengan sisi irasionalku sebagai manusia. Ada masa depan
menjanjikan dengan nilai materi yang tidak main-main bagiku di sana, tapi ada
satu hal yang sangat jelas yang menghalangi bayangan masa depan itu. Satu hal,
yang masih membatasi diriku untuk berbaur dengan dunia, yang sejak dulu belum
benar-benar mampu kukendalikan, hal itu yang menghalangi bayangan yang banyak
orang sebut dengan masa depan menjanjikan. Ya, sebagian besar orang mengatakan
begitu. Tentu diriku tidak bisa mengingkari sisi dengan sedikit kebutuhan yang
banyak orang katakan materialistis ini, tapi aku lebih tidak bisa lagi menepis
titik irasional yang lebih dalam pada diriku.
Aku yang mengelu-elukan pemikiran
secara logis, justru terjebak dalam lembah perasaan. Tidak begitu luas hingga
aku bisa berhati-hati menghindarinya, tapi cukup dalam hingga akan sangat sulit
untuk keluar ketika sudah berada di dalamnya. Ini seperti, aku bisa melihat ke
arah mana seharusnya aku berjalan dengan segala rencana, tapi ada jalan lain
yang lebih membuatku nyaman melaluinya meski jauh lebih sulit. Ini seperti
sebuah kekuatan yang membuatku memutuskan bahwa aku dengan sadar menyatakan
diri ini siap atas segala kesulitan yang berkali lipat itu.
No comments:
Post a Comment