Free Red Glitter Pointer Cursors at www.totallyfreecursors.com
Summer: 2014

Saturday, October 25, 2014

Seperti Ini, Bukan Seperti Ini



Jadi, seperti ini perasaan para perempuan yang menjerit mengatakan “aku bukan Siti Nurbaya”?
Seperti ini perasaan para perempuan yang terucap lirih dalam doanya menyebut satu nama?
Seperti ini perasaan mereka ketika yang tertanam di hati tak juga datang?
Seperti ini kah?
Atau aku hanya melebih-lebihkan
Bahkan untuk seseorang yang tanpa pengalaman

Tapi, apa daya menjerit, aku pun berharap menghidupkan kesabaran Asiyah?
Bagaimana mungkin mengucap, jika aku pun tak yakin berharap pada seorang manusia?
Untuk apa menanam, jika yang kuingini menuai terasa tak mungkin di depan mata?

Tapi, aku telah menjerit, meski tanpa suara
Aku juga telah berucap, bahkan tak lagi lirih
Aku pun tak hanya menanam, namun telah tumbuh dan bersemi

Tapi, memang, mau bagaimana lagi?

Tuesday, October 21, 2014

Ketika Muslimah Jatuh Cinta

Ketika muslimah jatuh cinta
Ada sepenggal nama yang jelas terukir di hatinya, dalam ruang yang sebelumnya kosong
Ia tertegun dan memandang jauh ke depan tat
kala sang pemilik nama berjalan melewatinya
Geraknya terbatas, ucapnya terbata, ketika kebanyakan orang lainnya justru dengan lantang menyebut namanya

Ketika muslimah jatuh cinta
Lidahnya kelu, sedang di hatinya tersebut untaian huruf sang pemilik nama
Wajahnya tertunduk, sedang dalam benaknya terbentuk lukisan wajah sang pemilik nama
Batinnya berkecamuk, melawan kehendak diri sendiri sedang akalnya sadar akan dosa

Ketika muslimah jatuh cinta
Ia tertahan dengan segala gejolak di jiwanya, sedang dengan tegas ia memilih untuk menjauh dari jalan yang dibenci-Nya
Anugerah dalam perasaan setiap manusia, menjadi ujian terberat bagi dirinya
Ketika muslimah jatuh cinta

Pada siapa ia hujahkan cinta?

Pernikahan

Pernikahan merupakan ikatan sakral antara seorang perempuan dengan laki-laki. Ikatan yang terjadi antara keduanyayang tidak bertalian darahbahkan akan menjadi lebih mendalam dari ikatan-ikatan yang dimiliki sebelumnya. Bersatunya seorang perempuan dengan laki-laki dengan ikrar suci atas nama Allah. Sesuai dengan tujuannya pun sudah sangat jelas bahwa seharusnya hal ini dilakukan bukan hanya karena satu poin yang kebanyakan orang katakan merupakan yang paling penting dalam pernikahancinta.
Mengapa seseorang harus menikah, atau setidaknya berusaha untuk mencari jalan menuju pernikahan? Mengapa seorang laki-laki atau perempuan tidak bisa memilih untuk hidup sendiri tanpa ikatan tersebut? Mengapa Allah bahkan mewajibkan hal ini pada ukuran tertentu?

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” 
(QS. Ar Ruum (30) : 21)

“Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk”
(QS. Al Isra 32)

Monday, October 20, 2014

Untitled

Belajar mengenai diriku sendiri, sesuatu yang sebelumnya tidak kusadari akan benar-benar terjadi. Diriku sendiri yang kupikir lebih logis dalam bertindak dan mengambil keputusan, ternyata tidak seutuhnya demikian. Aku selalu berpendapat bahwa hanya dalam kisah drama televisi perasaan yang sama sekali irasonal itu benar-benar ada. Aku selalu memandang sebelah mata mereka yang ditampilkan dalam kisah penuh romansa cinta yang sulit dipahami dengan pikiran saja. Tapi beberapa jam lalu, aku melakukannya.
Sejak awal, pandanganku sama, bahwa dalam membangun kehidupan materi bukan sesuatu yang bisa diabaikan, meski bukan yang bisa dijadikan sandaran. Aku sangat paham bahwa ada begitu banyak kebutuhan yang seharusnya dipenuhi dengannya, dan memang sangat membutuhkannya. Di lain sisi aku juga sangat paham bahwa kebahagiaan batin bukan hanya ditentukan oleh itu, entah apa namanya, yang jelas untuk mencapainya perlu perpaduan yang sesuai antara keinginan batin dengan ketersedianya materi. Seberapa banyak yang dibutuhkan tentu tidak sama, bisa jadi yang dianggap di bawah batas standar nilai kekayaan secara umum itu lah yang justru mencapai bahagianya. Tapi ada pula, yang mengaku tidak akan pernah mencapainya sebelum batas tertentu yang direncanakan belum diraih.
Hari ini, beberapa jam lalu, aku disuguhkan satu kepingan waktu yang membuatku harus memutuskan antara garis batas logika dengan sisi irasionalku sebagai manusia. Ada masa depan menjanjikan dengan nilai materi yang tidak main-main bagiku di sana, tapi ada satu hal yang sangat jelas yang menghalangi bayangan masa depan itu. Satu hal, yang masih membatasi diriku untuk berbaur dengan dunia, yang sejak dulu belum benar-benar mampu kukendalikan, hal itu yang menghalangi bayangan yang banyak orang sebut dengan masa depan menjanjikan. Ya, sebagian besar orang mengatakan begitu. Tentu diriku tidak bisa mengingkari sisi dengan sedikit kebutuhan yang banyak orang katakan materialistis ini, tapi aku lebih tidak bisa lagi menepis titik irasional yang lebih dalam pada diriku.
Aku yang mengelu-elukan pemikiran secara logis, justru terjebak dalam lembah perasaan. Tidak begitu luas hingga aku bisa berhati-hati menghindarinya, tapi cukup dalam hingga akan sangat sulit untuk keluar ketika sudah berada di dalamnya. Ini seperti, aku bisa melihat ke arah mana seharusnya aku berjalan dengan segala rencana, tapi ada jalan lain yang lebih membuatku nyaman melaluinya meski jauh lebih sulit. Ini seperti sebuah kekuatan yang membuatku memutuskan bahwa aku dengan sadar menyatakan diri ini siap atas segala kesulitan yang berkali lipat itu.

Sunday, October 19, 2014

Hujan, Aku yang Kembali

Hujan sore ini, membuatku merasa aku kembali. Aku mampu kembali menitikkan air mata karenanya. Aku kembali terhanyut dalam lirih doa-doa indah pada-Nya. Aku kembali dalam bayangan masa depan bersama gemuruh rintiknya. Hujan sore ini membuatku merasa kembali. Seperti sudah sangat lama, sesuatu yang kurindukan seperti ini, seperti hujan kali ini.
Derai air mata yang membersamai derasnya hujan, momen yang indah yang tak pernah bosan meski selalu kuulang. Ada doa di sana, ada harapan dan ucapan pengharapan. Ada janji di balik itu semua. Janji untuk mereka semua yang bersabar, yang berdoa dengan penuh pengharapan, pun janji atas penantian kembalinya guyuran air langit. Ada janji yang menguatkan dan tak pernah menepiskan harapan. Ada janji yang tak teringkari di sana, janji yang tidak akan pernah mengecewakan dari yang paling membahagiakan. Ada janji, yang menguatkanku untuk terus menanti atas doa-doa yang kuucapkan, atas hujan yang akan kembali, nanti.

“Kedua pria itu duduk berhadapan. Kehangatan terpancar dari mata mereka.”

Beberapa menit lalu, tanpa sengaja kutemukan sebuah buku bersampul hitam, bergambar jaring laba-laba dengan judul yang cukup singkat. “Supernova”.
Keping satu, baris teratas, kalimat pertama, membuatku menebak apa yang terkait di dalamnya. Apa yang bisa terbentuk di pikiran jika terbaca, “Kedua pria itu duduk berhadapan.”? Suasana yang mungkin tegang karena perselisihan, atau justru santai karena percakapan ringan. lalu kubaca kalimat kedua (memaksa diriku untuk menolak pemikiran lain selain keduanya), “Kehangatan terpancar dari mata mereka”.
Aku berhenti. Sampai di situ. Bukan menebak, aku memang tahu apa yang dimaksud. Tidak perlu kalimat ketiga atau baris-baris selanjutnya. Tapi, usaha yang berupa penolakan terhadap pemikiran yang muncul memaksaku untuk benar-benar menemukan buktinya. Baris selanjutnya, lagi, lagi, hingga lembar yang berbeda, sedikit lega karena tidak kutemukan bukti. Aku melanjutkan, membaca baris per baris yang justru berisi teori-teori yang bahkan tidak mampu kubayangkan meski berulang kali membacanya. Aku terhanyut. Sayangnya, di lembar lain, sebuah teori yang masih berkaitan munculsatu-satunya di buku ituyang dengan sangat jelas kupahami. Bukan hanya teori, tapi, itulah bukti yang kuabaikan sejak aku terhanyut membaca bagian sebelumnya.
Apa yang memangnya akan kulakukan jika bukti itu benar-benar kutemukan? Apa yang kurencanakan hingga aku ingin sekali memastikan tentang bukti itu? Aku juga tidak tahu pada awalnya. Kupikir, aku akan menghela napas dalam, merasa kecewa karena ada skandal serupa dalam tulisanku, dan sudah. Tapi sayangnya, bukan hanya itu. Perkiraanku salah. Satu hal yang sama sekali tidak kuduga, aku merasa cukup kesakitan, hanya karena bukti yang masih mempertahankan posisi kisah itu yang tentu saja sekedar fiksi. Tidak nyata, tapi terasa sangat nyata. Setidaknya beberapa saat aku merasakannya. Bodohnya, itu menarikku pada serpihan ingatan beberapa tahun lalu, ingatan yang seharusnya tidak berpengaruh apapun pada pikiran apalagi tindakanku. Ingatan tentang ia yang sama, seorang yang berbeda di mata dunia. Tapi, kurasa aku sendiri pernah menganggapnya demikian, berbeda dari pandangan dunia. Sebenarnya aku suka itu, perbedaan yang hanya satu-satunya namun begitu mencolok.
“Apa yang sedang kamu bicarakan?”
Apa lagi? Memang apa yang kutulis dari awal tidak begitu jelas? Atau memang masih banyak orang yang benar-benar tidak tahu? Sungguh tidak tahu, sebagaimana aku beberapa tahun lalu? Mungkin saja. Berbahagialah jika satu hal itu belum mencapai tempat paling irasional dalam logikamu. Karena, itu sama halnya dengan seorang pendidik yang mengajarkan budi luhur yang tiba-tiba melakukan kesalahan dengan etika dan moralnya.
“Hm, benar-benar. Apa yang sedang kubicarakan?”