Beberapa menit lalu, tanpa sengaja
kutemukan sebuah buku bersampul hitam, bergambar jaring laba-laba dengan judul
yang cukup singkat. “Supernova”.
Keping satu, baris teratas,
kalimat pertama, membuatku menebak apa yang terkait di dalamnya. Apa yang bisa
terbentuk di pikiran jika terbaca, “Kedua pria itu duduk berhadapan.”? Suasana yang
mungkin tegang karena perselisihan, atau justru santai karena percakapan
ringan. lalu kubaca kalimat kedua (memaksa diriku untuk menolak pemikiran lain
selain keduanya), “Kehangatan terpancar dari mata mereka”.
Aku berhenti. Sampai di situ. Bukan
menebak, aku memang tahu apa yang dimaksud. Tidak perlu kalimat ketiga atau
baris-baris selanjutnya. Tapi, usaha yang berupa penolakan terhadap pemikiran
yang muncul memaksaku untuk benar-benar menemukan buktinya. Baris selanjutnya,
lagi, lagi, hingga lembar yang berbeda, sedikit lega karena tidak kutemukan
bukti. Aku melanjutkan, membaca baris per baris yang justru berisi teori-teori
yang bahkan tidak mampu kubayangkan meski berulang kali membacanya. Aku terhanyut.
Sayangnya, di lembar lain, sebuah teori yang masih berkaitan muncul―satu-satunya di buku itu―yang dengan sangat jelas
kupahami. Bukan hanya teori, tapi, itulah bukti yang kuabaikan sejak aku
terhanyut membaca bagian sebelumnya.
Apa yang memangnya akan kulakukan
jika bukti itu benar-benar kutemukan? Apa yang kurencanakan hingga aku ingin
sekali memastikan tentang bukti itu? Aku juga tidak tahu pada awalnya. Kupikir,
aku akan menghela napas dalam, merasa kecewa karena ada skandal serupa dalam
tulisanku, dan sudah. Tapi sayangnya, bukan hanya itu. Perkiraanku salah. Satu hal
yang sama sekali tidak kuduga, aku merasa cukup kesakitan, hanya karena bukti
yang masih mempertahankan posisi kisah itu yang tentu saja sekedar fiksi. Tidak
nyata, tapi terasa sangat nyata. Setidaknya beberapa saat aku merasakannya. Bodohnya,
itu menarikku pada serpihan ingatan beberapa tahun lalu, ingatan yang
seharusnya tidak berpengaruh apapun pada pikiran apalagi tindakanku. Ingatan tentang
ia yang sama, seorang yang berbeda di mata dunia. Tapi, kurasa aku sendiri
pernah menganggapnya demikian, berbeda dari pandangan dunia. Sebenarnya aku
suka itu, perbedaan yang hanya satu-satunya namun begitu mencolok.
“Apa yang sedang kamu bicarakan?”
Apa lagi? Memang apa yang kutulis
dari awal tidak begitu jelas? Atau memang masih banyak orang yang benar-benar
tidak tahu? Sungguh tidak tahu, sebagaimana aku beberapa tahun lalu? Mungkin saja.
Berbahagialah jika satu hal itu belum mencapai tempat paling irasional dalam
logikamu. Karena, itu sama halnya dengan seorang pendidik yang mengajarkan budi
luhur yang tiba-tiba melakukan kesalahan dengan etika dan moralnya.
“Hm, benar-benar. Apa yang sedang
kubicarakan?”