Free Red Glitter Pointer Cursors at www.totallyfreecursors.com
Summer: 2015

Friday, April 24, 2015

Cantik Itu Luka

Cantik itu luka.

Banyak orang berharap berparas cantik, melakukan segala upaya demi fisik sempurna. Sayangnya, bagi mereka yang telah digelari kata ‘cantik’, justru merasa sebaliknya. Beberapa dari mereka yang dikatakan cantik justru merasakan sakit karena cantik itu sendiri. Tidak ada sesuatu yang didapat tanpa perjuangan. Bahkan, jika itu didapatkan tanpa meminta, untuk menjalani hidup dengannya pun memerlukan perjuangan.

Cantik itu luka. Kecantikan fisik yang didapat secara alami, tanpa mengupayakan suatu apapun. Tahukan mereka bahwa kami menjalani hidup dengan kesakitan justru karena kecantikan itu sendiri? Bahwa kami harus menderita karena pujian yang seringkali kami sesali? Kami bersyukur. Ya, kami bersyukur Tuhan Menganugerahkan fisik yang baik tanpa kami pinta. Tapi, bisakah kalian juga bersyukur atas apa yang kalian miliki saat ini? Kulit hitam? Apa masalahnya, jika kulit putih seringkali jadi cibiran dan terkucilkan? Wajah cantik bak artis? Kenapa harus begitu? Bahkan kami harus menerima berpasang-pasang mata melecehkan dengan tatapannya.

Cantik itu luka. Sangat menyakitkan ketika mengetahui bahwa bukan hati dan pemikiran kami yang menjadi bahan pertimbangan. Memalukan ketika seseorang berkata kami hanya bermodal ‘tampang’ untuk meraih prestasi-prestasi kami. Kami pun berusaha, dan kami tidak takut menderita.

Ya, kami cantik. Dan hanya senilai fisik itu kah yang membuat kalian berupaya sedemikian keras? Harusnya, yang tampak di layar televisi, yang tertulis jelas di lembar-lembar surat kabar, bisa kalian pahami. Berapa banyak di antara perempuan yang disebut cantik itu menjadi korban pembunuhan pemikiran? Atau bahkan, dibunuh dalam arti yang sesungguhnya, hanya karena gelar ‘cantik’ pada rupa mereka.

Sungguh, cantik itu luka. Jika saja air yang didiamkan itu tidak akan menguap, entah akan ada berapa bejana air mata yang terkumpul. Air mata yang justru menetes karena kecantikan itu sendiri. Pahamilah, ketika kami mengakui, bahwa cantik itu luka.



Thursday, March 12, 2015

Sepenggal Nama dalam Agenda



Perempuan itu... saat itu ia bukan ingin memaksakan kehendaknya atau mendorong seseorang itu jatuh jauh ke dalam. Ternyata, ia ingin menjadi pembatas baginya, bagi seseorang itu. Perempuan itu hanya ingin mencoba membangun perlindungan untuk seseorang itu. Tapi sayang, ia melupakan satu hal. Ia lupa bahwa yang ia hadapi adalah orang lain, orang yang belum tentu merasakan hal yang sama dengannya. Ia lupa bahwa mungkin saja orang itu jauh lebih kuat darinya dan justru merasa harus menghadapi semua di depan matanya.
Ia lebih suka menghindar dari pada mengutarakan sesuatu yang menurutnya akan membuat semua lebih rumit. Seseorang dengan sikap normal akan memilih untuk berdebat hingga pendapat dan keinginannya diterima. Tapi perempuan itu, ia justru lebih suka lari jauh menghindari percakapan. Ia masih saja merasa lebih baik untuk menyimpan semuanya. Bagi kebanyakan orang, hal itu akan terkesan seperti rahasia-rahasia yang tidak boleh sedikit pun tercium keberadaannya. Tapi bagi perempuan itu, melakukannya adalah hal yang biasa. Menyimpan semuanya sendiri bukan berarti selalu bermaksud membuatnya menjadi rahasia, ia hanya enggan untuk berbicara.
Suatu waktu, beberapa kali, ia merasa bahwa ia tak perlu berucap. Entah karena ia merasa tidak pernah didengar atau justru ia berpikir tidak akan ada yang mengerti ucapannya. Tapi ia harus berbicara, maka ruang hampa lah yang akan mendengarnya. Mungkin tidak banyak luka yang ia terima, tidak banyak yang mengganggu kehidupannya. Tapi ada satu luka yang baginya terasa sangat menyakitkan. Apa mungkin ini cara untuk melindungi dirinya? Apa mungkin semua diamnya ia jadikan sebagai pembatas antara dirinya dengan begitu banyak hal yang bisa menyakitinya?

Ia, pemilik nama itu, kini baginya hanya sebatas angin yang baru saja menghilang. Pemilik nama itu hanya sebatas udara yang tiba-tiba berlari kencang. Ia cukup mengejutkan dengan kehadirannya. Perempuan itu, kehidupannya sempat dikejutkan dengan kehadiran sang pemilik nama. Tapi, seperti halnya angin yang dengan cepat berlalu, begitu pula pemilik nama itu. Ia juga begitu cepat berlalu, berpindah ke ruang hampa lainnya tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Bagi perempuan itu, mungkin sang pemilik nama hanya sebagai penghias dalam catatan monotonnya. Mungkin ia sengaja dihadirkan agar perempuan itu bisa menilai perasaannya yang sempat membuat ia sendiri berada dalam hitam dan putih.

Wednesday, January 14, 2015

Cinta Realistis?



Aku tidak percaya cinta, cinta-cinta yang kebanyakan orang bilang
Cinta itu terlalu tidak realistis dan hanya mengandalkan perasaan
Bukannya perasaan itu sulit dikendalikan ya? Atau bahkan memang tidak bisa?
Apa jadinya jika suatu waktu perasaan itu goyah dan cinta berpindah pada sosok yang lain?
Aku memang tidak percaya cinta,
tapi bagaimana bisa aku menyaksikan berbagai kisah cinta?
Lalu, bagaimana mungkin aku merasa sedikit tersentuh ketika kisah itu berlarian di hadapanku?
Itu seperti... sejenak memasuki dunia khayalan, lalu kembali ke dunia nyata
Aku sering bilang pada bayanganku sendiri, “Itu tidak nyata, itu tidak nyata”
Aku juga sering berbisik ketika hampir terlalu jauh memasuki dunia khayalan, “Kembali ke dunia nyata, lihatlah kenyataannya!”

Aku percaya cinta, tapi jika itu realistis, memang ada?
Kalau aku percaya itu artinya ada, setidaknya bagiku
Bukan tentang materi, karena itu adalah hal yang orang bilang paling realistis yang menurutku sangat tidak realistis
Punya hak apa mengukur cinta dengan materi?
Memangnya waktu yang terbatas ini bisa dibeli dengan uang?
Hal yang paling realistis untuk membuatku percaya tentang cinta yang realistis adalah, yang mengatur dan mengendalikan perasaan
Satu-satunya yang mampu mengatur, membawa ke sana dan ke mari perasaan manusia
Jika itu alasan disebut-sebutnya cinta, maka aku bisa percaya
Tampak tidak realistis ya?
Justru itu yang paling realistis
Jika pada sumber cinta saja tak acuh, bagaimana mungkin mengumbar janji untuk selalu mencintai dan menjaga perasaan itu sampai mati?