Free Red Glitter Pointer Cursors at www.totallyfreecursors.com
Summer: Muhasabah Cinta #2

Monday, February 24, 2014

Muhasabah Cinta #2

      Sejak keresahan itu, sejak perasaan yang sangat tidak nyaman dalam diri gadis belia, ia sejenak berpikir. Gadis belia itu berusaha memberi waktu bagi dirinya sendiri untuk mencari jawaban atas perasaan tidak nyamannya. Tepat pada bulan ramadhan di tahun ke duanya di SMA. Niat menunggu gema adzan maghrib, siaran pengiring sebelum adzan berkumandang tidak sengaja ia perdengarkan. Sebuah perbincangan tentang adab pergaulan dalam Islam. Tepat mengenai sesuatu yang sedang ia cari jawabannya. Pacaran.
      "Pacaran itu dilarang dalam Islam, sebab merupakan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan, yang keduanya adalah bukan mahram." Gadis belia itu pernah mendengar sebelumnya bahwa pacaran adalah sesuatu yang dilarang, tapi yang tahu itu karena dinilai tidak baik oleh masyarakat sekitar. Sekarang, ia tahu bahwa Allah juga melarang hubungan yang tidak halal itu. Secara tiba-tiba, detik itu pula, ia meraih ponselnya dan mengetikkan sebuah kalimat, yang ditujukan pada pemuda yang ia sukai.


 "Aku nggak mau pacaran, cukup dg perasaan saja, ttg hubngan kykx pertemanan lbh baik."

    Pemuda itu pun bertanya tentang alasannya memutuskan hal demikian, tapi gadis belia itu hanya menjawab, "nggak ada, nggak mau aja". Sepertinya ia belum bisa mengaku bahwa di balik alasan itu ada kecintaannya pada agama Allah. Anehnya, sama sekali tidak ada percakapan tentang pacaran antara mereka sebelumnya. Seperti sebuah antisipasi, ia bersiap terlebih dulu sebelum keresahannya benar-benar terjadi. Padahal, ia sendiri merasa yakin bahwa seseorang seperti pemuda yang ia sukai itu sangat tidak mungkin membahas hal seperti itu. Setelah semua itu, keduanya lebih jarang berkirim pesan. Bukan maksudnya untuk menjauh, hanya saja kesibukan membuat keduanya memiliki lebih banyak hal untuk dikerjakan daripada sekedar berkirim pesan.

       "Enak ya pake kerudung, nyaman banget...." Ucap gadis belia itu pada temannya. Hari itu sekolahnya memperingati isra' mi'raj, dan semua siswa perempuan diwajibkan mengenakan jilbab. Ia pun senang, bisa berkesempatan merasakan berjilbab di sekolah. Sayangnya, hanya hari itu. Setelah satu hari berlalu, maka ia kembali dengan seragam sekolah berlengan pendek dan rambut yang tampak terurai.
       
       Tahun ketiga, semua siswa SMA di tahun ini jauh lebih sibuk dari tahun-tahun sebelumnya. Les ini, itu, persiapan unas, dan lainnya. Begitu juga dengan si gadis belia. Selain mengikuti tambahan pelajaran di sekolah, ia juga mengikuti kursus di luar sekolah. Kali ini, tanpa meminta pendapat sang ibu, ia kenakan jilbab. Meskipun hanya saat ia ke luar rumah selain ke sekolah, tapi ia sudah sangat senang. Baginya, dapat mengenakan jilbab adalah ketenangan yang luar biasa hebatnya. Bahkan tidak jarang ia tersenyum sendiri menikmati nyamannya berjilbab. Semua keluhan yang banyak teman perempuannya khawatirkan, gerah, kulit kepala berminyak, ribet, justru tidak terbukti. Sebaliknya, ia merasa lebih sejuk, rambutnya pun bisa terlindungi, dan yang paling penting baginya, rasa aman dan nyaman yang jauh lebih dari biasanya, ia dapatkan saat berjilbab.
     Ujian nasional telah usai. Semua siswa tidak memiliki banyak kegiatan. Sebagian menghabiskan waktunya untuk belajar sebagai persiapan ujian masuk universitas. Sebagian lainnya bersantai dan melakukan kegiatan yang bermacam-macam. Bagi gadis belia itu, apapun kegiatan yang dilakukan, selama itu sesuatu yang baik dan tidak menyimpang, maka tidak masalah. Ia pun bukan tipe yang akan menghabiskan waktu luangnya untuk belajar hingga berkeringat. Ia meluangkan waktu untuk belajar, namun sebagian besar waktunya ia habiskan untuk melakukan sesuatu yang sangat ia nikmati. Membaca, menulis, melukis. Ya, semua itu adalah hal yang membuatnya merasa begitu santai dan tidak jarang hingga lupa waktu.
      Sejak ujian nasional dan segala pengurusan berkasnya selesai, gadis belia itu memutuskan untuk terus berjilbab. Ibunya pun telah menyetujui, selain karena sang ibu telah percaya dengan keputusannya, juga karena ia sendiri sudah benar-benar yakin dengan hal itu. Ia sangat senang. Seolah sebuah hari baru untuknya, ia berkaca dengan kerudung berwarna putih yang baru saja selesai dirapikan dengan senyuman yang lebih cerah. Sepertinya, jilbab adalah penantian yang panjang baginya. Seperti sedang menaiki anak tangga, sehelai kain yang menutupi rambut indahnya adalah puncak tangga pertama yang memberi secercah cahaya untuk menguatkan langkahnya. Seperti telah menyaksikan hamparan bunga di tamannya sendiri bermekaran dengan indah, dengan warna-warni yang membuat senyumnya jauh lebih cerah.

No comments:

Post a Comment