Bebas, seperti saat aku mengepakkan sayap tanpa ragu. Bebas, seperti saat
berdiri di atas tebing dan berteriak sekuat tenaga. Tapi rumahku bukan rumah
pohon, yang mengharuskanku terbang untuk berpindah ke tempat lain. Tempatku
berada juga sangat jauh dari alam bebas yang sepi, yang membiarkanku bersuara
tanpa batas. Aku bebas, namun berbatas.
Bebasku bukan membiarkan diri acuh hingga merampas bebas orang lain.
Aku bebas, namun berbatas. Jika berteriak sekencangnya sedangkan banyak pasang
telinga terganggu, aku pun merasa terkekang dengan kecapan mereka. Jika terbang
tanpa ragu sedangkan banyak jejak kaki jadi tak beraturan, aku pun terkekang
dengan pandangan sinis mereka. Aku bebas, namun berbatas.
~~~
Jauh sebelum memahami kebebasan,
kupikir bebas adalah bertindak sesuka hatiku, mengekspresikan diri tanpa batas.
Jika suatu waktu kecaman kudengar pada mereka yang berkarya, maka kuanggap itu
terlalu mengekang, terlalu konservatif rasanya. Body painting, freestyle art,
sensational music concert, trend fashion, dan semua hal bebas
(menurut pandangan umum) lainnya. Semua yang katanya ‘seharusnya bebas’ itu
selalu kupandang positif sebagai suatu karya. Karya itu bebas, karya itu tak
berbatas. ‘Semau loe mengekspresikan
diri’. Itu pernyataan gaulnya. Aku pun sependapat. Karya harus dibuat tanpa
batasan, semakin gila sebuah karya, maka semakin tinggi nilainya. But, that was my opinion in long time ago.
Suatu ketika sebuah kalimat
menyerangku, menyerang pemikiranku. Sebuah kalimat tentang kebebasan. Bahwa
bebas berarti tidak terkekang dengan pandangan atau pendapat orang lain
terhadap apa yang melekat pada diri kita. Waktu itu berkaitan dengan busana,
terutama cara berpakaian wanita.
Kenapa model yang paling diminati dari kalangan perempuan? Kenapa
banyak iklan menampilkan perempuan dengan cara berpakaiannya yang dapat
dikatakan terbuka?
Jawabannya, karena perempuan
dianggap lebih menarik, dan jauh lebih menarik lagi jika cara berpakaiannya
bisa dikatakan kekurangan kain. Semua itu berkaitan dengan kesenangan mata.
Mereka yang menjual produknya dengan cara demikian, bertujuan untuk menarik
sebanyak-banyaknya perhatian penonton khususnya dari kalangan laki-laki.
Awalnya kupikir pendapat tentang terkekang dalam pandangan orang lain itu tidak
masuk akal, meskipun aku sendiri tidak memiliki keberanian untuk berlaku bebas
sebebas-bebasnya tanpa mengikuti aturan. Saat seseorang mengusulkan sebuah
karya, kubilang “jangan, tidak sesuai aturan”. Aku tidak sependapat dengan
orang-orang yang mengecam ketidakterbatasan dalam berkarya, tapi terlalu takut
menjalaninya.
Ketika berada di sekolah
mengengah, ada keinginan untuk berkerudung, berpakaian selayaknya perempuan
muslim. Tapi seketika berpikir, “gimana kalo aku dibilang ikut-ikutan? Apalagi
sudah mau lulus, ntar dibilang telat.”
Aku bebas menunjukkan diriku tanpa penutup yang seharusnya, kerudung, pakaian
berlengan panjang, tanpa itu semua. aku bebas, tapi ternyata terkekang oleh
pemikiran bahwa akan ada orang yang mengatakan ini dan itu. Ketika memasuki
masa awal kuliah, syukurlah aku sudah mengenakan pakaian tertutup, meski belum
sempurna. Suatu waktu aku dan beberapa teman melihat seorang perempuan
mengenakan pakaian yang bukan hanya tertutup tapi juga longgar, sangat longgar
hingga tak tampak bentuk tubuhnya. Lalu banyak di antara orang-orang di
sekitarnya berkata ini dan itu. Ya, aku setuju dengan mereka. “Buat apa sih pake pakaian sampe begitu? Yang penting
kan sudah tertutup.” Tapi setelah beberapa waktu berlalu, aku justru ingin
berpakaian seperti perempuan tadi. Sayangnya, aku malu, dan agak sedikit
khawatir. “Gimana kalo temen-temen bilang aku ekstrimis? Atau bahkan
kampungan?” Kembali, aku terkekang dengan pendapat orang-orang di sekitarku.
Merasa terkekang belum membuatku
benar-benar paham, mengapa disebut bebas jika masih ada batasan? Baru lah,
setelah mencoba untuk melepas kekhawatiran terhadap pendapat orang lain, aku
mulai mengerti. Memulai mengenakan pakaian yang ‘sedikit’ lebih longgar dari
biasanya, mengganti celana dengan rok misalnya, lalu berjalan melalui lorong
kampus. Ya, ternyata memang benar. Ada saja yang menoleh dan menatap dengan
cara yang tidak biasa. Apalagi saat ini. Bukan hanya dengan pakaian yang
berbeda dari sebelumnya, aku mencoba dengan kerudung yang lebih panjang. Wah,
cara mereka menatap juga semakin berbeda. Normal saja jika pada awalnya merasa
aneh dan kurang nyaman dengan tatapan-tatapan itu. Tapi sepertinya, jika
demikian, mungkin aku bukan termauk golongan ‘normal’. Karena ternyata, saat
awal-awal mencoba, bukan pandangan aneh dan kurang nyaman yang kurasakan,
melainkan rasa aman. Wah, even I felt so
confidence! Jika dibilang aneh, just
tell me, I love to be eccentric! Ha...ha....
Itu artinya, kebebasan juga
berarti menjadi diri sendiri seperti apa adanya seseorang itu. Tentu saja. Apa bebas
namanya jika harus menghabiskan banyak uang untuk membeli barang-barang
bermerek hanya untuk diterima dalam komunitasnya? Atau harus mengejar trend fashion setiap saat hanya untuk dibilang keren? Hey, whatever you do, jika semua itu hanya demi
pandangan orang lain terhadapmu, that’s
not cool!
Hmm, semakin berlanjut pemilihan
kataku semakin meracau, padahal pembukaannya udah sip begitu. Ha... ha....
Ya, bebas bukan berarti lepas. Aku
bebas, namun berbatas!
No comments:
Post a Comment