Free Red Glitter Pointer Cursors at www.totallyfreecursors.com
Summer: Untitled

Sunday, January 5, 2014

Untitled



Pearl

Hari ini, tepat tiga tahun dari hari itu. Hari di mana seseorang mengajarkanku tentang ketulusan dan syukur. Orang yang saat ini ada di hadapanku dengan senyumannya yang tulus, meski kutahu ia sedang menahan rasa sakit yang teramat sangat. Annisa namanya. Seorang perempuan yang lembut dan selalu sabar dalam menghadapi masalah.

*****

Aku berlari dengan tas ransel di lengan kananku,  tiga buku yang cukup tebal tertumpuk di lengan kiriku. Terburu-buru menaiki tangga menuju ruang kuliah pagi itu.


“Wah, udah telat 15 menit”.

“Prakk!!” Buku-bukuku terjatuh. Seorang perempuan berjilbab cokelat menabrakku, eh, bukan, sepertinya aku yang menabraknya.

“Maaf mbak, saya nggak sengaja.”

“Aku yang berlari dan menabraknya, kenapa dia yang minta maaf? Oh, iya mbak, nggak pa-pa. Permisi.” Aku kembali berlari karena tersadar masih jauh dari ruang kelas. Satu, dua, tiga, tiga ruangan lagi yang harus kulewati. “Finally!”

“Good morning, Sir.”

“Morning. It’s not ussual for you coming late.”

“Umm.... I had a trouble in my way. I’m sorry, Sir.”

“Okay, sit down, please.”

“Thank you, Sir.”

Memang, tidak seperti biasanya. Mata kuliah ini favoritku, dan tidak pernah sekali pun aku terlambat sebelumnya. Hanya saja tidak hari ini.

“Eng.... Itu kan mbak yang tadi aku tabrak?” Iya, benar. Seorang perempuan yang bertabrakan denganku sekarang ada di hadapanku, sedang berbicara pada Mr. Nick.

“Ms. Syifa!”

”Eits, kenapa namaku tiba-tiba dipanggil? Yes, Sir?”

“Ms. Annisa wants to meet you.”

“Ooo... jadi namanya Annisa....” Aku lantas maju ke arah perempuan yang sepertinya memang Annisa namanya. Ia lantas tersenyum padaku, cantik. Kami meminta ijin pada Mr. Nick, dan bergegas ke luar ruangan. Kami duduk di sebuah bangku panjang di depan kelas. Dengan sedikit penasaran aku menunggu ia untuk menyampaikan maksudnya menemuiku.

“Dek Syifa....”

“Eh, kupikir ia seangkatan denganku. Iya mbak. Ada apa ya?”

“Begini, remaja masjid di kampus ini sedang mencari anggota dalam divisi insan kreatif. Kebetulan salah seorang anggota menyarankan untuk mengajak Dek Syifa, beliau mengatakan bahwa Dek Syifa ini memiliki kemampuan di bidang tersebut.”

“Aku? Siapa orang yang mengusulkannya?” tanyaku sedikit penasaran.

“Akhi Yusuf. Dek Syifa pasti mengenalnya kan? Grrr.... Orang itu! Pantas saja! Awas aja kalo ketemu!”

“Eh, iya mbak. Aku kenal kok. Kami sudah saling kenal sejak SMP.”

“Wah, jadi begitu. Pantas saja ia merekomendasikanmu.”

“Eng... tapi....”

“Kenapa?”

“Emm... nggak kok, nggak kenapa-kenapa.”

“Jadi bagaimana? Dek Syifa bersedia?”

“Emm.... Aduh, apa yang harus kukatakan. Menolak segan, menerima pun rasanya....”

“Ya sudah kalo gitu. Mungkin Dek Syifa masih butuh waktu. Besok jam 1 siang kami mengadakan rapat di masjid kampus. Dek Syifa bisa datang ke sana, sekaligus kami menunggu keputusannya.”

“Emm.... Insyaa Allah ya mbak, aku usahakan dateng.”

“Baiklah, kalo gitu saya permisi dulu ya. Terimakasih sudah bersedia meluangkan waktu.”

“Oh, iya. Nggak masalah kok.” Sambil tersenyum dan beranjak dari bangku ia ucapkan salam padaku.

“Assalamualaikum....”

“Waalaikumsalam....” Cantiknya ia.... Pakaiannya rapi dan indah. Beda banget sama aku. Eits... kak Ucup, awas aja kalo ketemu! Kak Ucup adalah panggilan yang kuberikan pada kak Yusuf. Sebenarnya ia orang yang baik, hanya saja aku sering dibuat kesal karena kejahilannya. Sampai saat ini pun sepertinya ia masih begitu jahil.

***

“Alhamdulillah, kita kedatangan seseorang yang insyaa Allah akan menjadi anggota baru di sini. Saya persilahkan anggota baru kita untuk memperkenalkan diri.”

“Ee... assalamualaikum...”

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh...”

“Umm... nama saya Syifa, Salsabila Asyifa, angkatan 2010. Terimakasih karena telah memberi saya kesempatan untuk bergabung di sini. Mohon bantuannya...” Wah, semua orang di sini menyambutku dengan baik,  sepertinya aku harus benar-benar berusaha nih. Hmm, meskipun masih agak kesal karena kak Ucup, tapi akan aku usahakan dengan sepenuh hati.

*****

Dan setelah itu, setiap harinya, di mana ada aku, di situlah Annisa. Ia selalu ada untukku, saat suka, duka, selalu ada untukku. Bahkan dengannya aku mengenal cinta, cinta yang memang sudah seharusnya dimiliki setiap manusia, cinta pada Ia Yang Mencipta. Tapi, bukan hanya itu. Bahkan satu cinta lagi telah tumbuh di hatiku, untuk seseorang yang sama sekali tak kusangka akan kubukakan pintu hatiku.

*****

“Wah, senengnya yang udah pake toga...” melihat Annisa saat itu membuatku iri. Entah kenapa ia selalu terlihat cantik di mataku, setiap saat, selalu.

“Eh, sebentar lagi kan kamu nyusul.”

“Ya, aamiin, insyaa Allah...”

“Oya, sekalian nyusul ke pelaminan juga ya?”

“Haa? Kok pelaminan?”

“He...he.... Iya, kan mau nikah, masa iya ke terminal....” Annisa menjawabku dengan senyum jahilnya.

“Mbak Nisa mau nikah? Kok aku nggak tahu? Ooo, jadi rahasia-rahasiaan nih sekarang...” aku membalasnya dengan memasang wajah kesal.

“Eeh, ini juga belum apa-apa. Selain keluarga mbak, kamu itu orang pertama yang mbak kasih tahu.”

“Hmm, leganya. Hehe... memang, siapa calonnya?”

“Umm... nanti kamu juga tahu. Proses khitbahnya baru seminggu yang lalu. Dan insyaa Allah akan diresmikan satu bulan lagi.”

“Ih kan, masih aja rahasia. Ya udah deh, ada yang perlu kubantu? Konsep pernikahan mungkin? Gaun? Or..., anything else?”

“Nggak perlu, Syifa. Mbak nggak mau pernikahan yang mewah. Cukup dihalalkan sesuai syariat, dan disaksikan oleh orang-orang yang mbak sayangi, dan kamu salah satunya.”

“Umm... so sweet.... Oke, kalo gitu, seperti yang selalu mbak ajarkan ke aku, aku akan bantu dengan doa yang tulus dan ikhlas. Semoga semuanya lancar, berkah, dan menjadi keluarga sakinah, mawadah, wa rahmah dunia akhirat. Aamiin...”

“Aamiin.... Terimakasih ya... doa yang kamu panjatkan lebih berharga dari hadiah apapun.” Siapa yang nantinya mendampingi Annisa, aku belum tahu. Meskipun ia bilang bahwa aku mengenalnya. Tapi aku yakin, ia adalah seorang laki-laki yang baik, yang pantas menjadi imam bagi seorang bidadari seperti Annisa.

*****

   Ya, itulah saat-saat paling membahagiakan bagi Annisa, begitu pun bagiku. Dipertemukan dengan bidadari  yang membawa cahaya ke hatiku, aku merasa dianugerahi kesempatan begitu besar dalam hidup ini. Dalam waktu singkat Annisa menjadi sosok penting dalam hidupku. Dan tidak berapa lama setelah itu, aku akhirnya tahu, seseorang yang akan menjadi imam dalam hidupnya. Ia, Yusuf, kak Ucup. Orang yang berhasil membuatku membuka hati untuk ia tinggali.

 “Syifa, tahu nggak salah satu hal yang membuat mbak mengagumimu?”

“Mbak..mbak... Nggak kebalik ya? Justru aku yang kagum sama mbak.” Sembari tersenyum Annisa meraih tanganku.

“Aku mengagumimu karena ketegaran yang kamu miliki. Satu tetesan mata pun tidak kamu perlihatkan, tidak pernah kamu tunjukkan satu kesedihan pun yang kamu tunjukkan pada orang lain. Meskipun aku tahu, saat kamu tersenyum ada kesedihan yang sedang kamu simpan.” Sungguh, mendengarnya justru membuatku ingin menangis saat itu. Suaranya yang lembut semakin lembut. Lirih ia ucapkan segala hal padaku, sungguh sakit batinku melihatnya saat ini. Ia yang selalu ceria, penuh semangat menemaniku, saat ini hanya mampu terbaring menahan kesakitan, yang bahkan tidak ia tampakkan.

“Mbak, aku minta maaf ya, jika selama ini saat mbak menangis, aku nggak bisa menemani mbak meneteskan air mata....”

“Ssst....’ sembari menggelengkan kepalanya pelan, ia menghentikan bicaraku. ‘Jangan. Jangan menangis karena tangisku. Kamu adalah sahabat yang kubutuhkan, menghapus air mataku saat aku menangis. Seperti namamu, Asyifa. Setiap kesedihan dan kesakitanku, tiba-tiba hilang dengan kehadiranmu. Kamu adalah penawar dalam setiap keadaanku. Dan, kamu jangan lagi menangis di belakangku.’ Mendengarnya aku sedikit terkejut.

‘Aku mungkin tidak melihat tangismu, tapi aku bisa melihat kelelahan di kedua matamu.”

“Iya, benar. Kamu benar Annisa. Mataku terasa lelah karena tangis, tapi tidak sanggup menahan keduanya meneteskan air mata.”

“Dan,’ Annisa menatapku lekat-lekat.

‘Aku meminta satu hal padamu.”

“Apa itu mbak? Katakanlah. Insyaa Allah aku akan melakukan semampuku.” Sambil tersenyum Annisa pun mengatakan permintaannya.

“Jadilah ibu dari anakku, Furqan.”

“Astaghfirullah!” Kata-kata itu, sekilas menghentikan nafasku. Tidak ada kata yang bisa kuucapkan untuk menjawab permintaan Annisa. Aku hanya terdiam, menunggunya untuk berbicara.

“Furqan, nama yang luar biasa, indah. Aku senang karena saudariku yang cantik ini yang menghadiahi nama itu. Kumohon, cintai ia seperti engkau mencintaiku, dan... Yusuf.”

“Mbak!’ Lagi-lagi aku terkejut. Sepertinya, Annisa telah merancang begitu banyak kejutan untukku. Tapi sayangnya, bukan sesuatu yang kuharapkan.

‘Jangan bicara lagi. Sudah, cukup mbak!”

“Syifa, sungguh, aku tahu yang tersimpan dalam hatimu. Aku tahu kamu bahagia melihat kebahagiaan di wajahku di saat pernikahan itu. Tapi aku juga bisa melihat seberapa kuat kamu menahan rasa sakit sejak terucap kata halal antara aku dan Yusuf.”

“Mbak, aku mulai mengerti maksud semua ucapan mbak Nisa. Percayalah mbak, Allah akan memberi jalan atas semua cobaan ini.”

“Syifa, jangan khawatir. Aku selalu percaya pada kehendak-Nya. Itu pula yang membuatku selalu bersyukur bahkan atas kehendak-Nya padaku saat ini. Aku bahagia Syifa. Aku sungguh bersyukur karena Ia memberiku kesempatan untuk melakukan sesuatu yang akan membuatmu bahagia.” Ya Allah, aku tidak mampu lagi berucap. Semua kalimat itu membuatku ingin berlari dan menangis sepuasnya.

***

“Masyaa Allah... Syifa?” Annisa tampak terkejut. Hari itu, aku mengenakan busana yang dikenakan Annisa saat pernikahannya, lengkap dengan kerudung putih yang indah. Hatiku bukan merasa bahagia, atau pun sedih. Rasanya semua melebur menjadi satu. Ada sedikit rasa marah yang juga berkecamuk di hatiku, apalagi saat kulihat diriku di cermin dengan busana itu.

“Kenapa? Aku nggak pantes ya memakai pakaian ini?”

“Kenapa nggak pantes? Kamu cantik... banget. Seperti seorang bidadari. Sini, kita foto bareng.” Sembari menarik tanganku ia tersenyum, lantas merapikan kerudungnya, kerudung cokelat yang ia kenakan saat pertama kali kami bertemu.

***

“Maaf, Furqan. Baru sekarang ummi bisa menceritakan semua padamu. Maaf.”

“Ummi, aku marah, aku juga kesal karena awalnya semua ini membuatku bingung. Tapi, sekarang aku justru sangat bersyukur. Karena, aku memiliki dua bidadari yang begitu mencintaiku. Seorang perempuan yang lembut dan penuh kesabaran, yang memberikanku kekuatan sampai akhir hayatnya, dan seorang lagi yang sampai saat ini ada untukku, yang selalu menjadi penawar bagi setiap sakitku.”
Dan tangis pun menetes di kedua pipi merona itu. Seperti air, mengalir begitu saja. Seperti mata air di surga, mengalir, mengobati setiap luka.

No comments:

Post a Comment