![]() |
| Pearl |
Hari ini, tepat tiga tahun dari hari itu.
Hari di mana seseorang mengajarkanku tentang ketulusan dan syukur. Orang yang
saat ini ada di hadapanku dengan senyumannya yang tulus, meski kutahu ia sedang
menahan rasa sakit yang teramat sangat. Annisa namanya. Seorang perempuan yang
lembut dan selalu sabar dalam menghadapi masalah.
*****
Aku berlari
dengan tas ransel di lengan kananku,
tiga buku yang cukup tebal tertumpuk di lengan kiriku. Terburu-buru
menaiki tangga menuju ruang kuliah pagi itu.
“Wah, udah telat 15 menit”.
“Prakk!!”
Buku-bukuku terjatuh. Seorang perempuan berjilbab cokelat menabrakku, eh,
bukan, sepertinya aku yang menabraknya.
“Maaf mbak, saya
nggak sengaja.”
“Aku yang berlari dan menabraknya, kenapa
dia yang minta maaf? Oh, iya mbak, nggak pa-pa. Permisi.” Aku kembali
berlari karena tersadar masih jauh dari ruang kelas. Satu, dua, tiga, tiga
ruangan lagi yang harus kulewati. “Finally!”
“Good morning,
Sir.”
“Morning. It’s
not ussual for you coming late.”
“Umm.... I had a
trouble in my way. I’m sorry, Sir.”
“Okay, sit down,
please.”
“Thank you, Sir.”
Memang, tidak
seperti biasanya. Mata kuliah ini favoritku, dan tidak pernah sekali pun aku
terlambat sebelumnya. Hanya saja tidak hari ini.
“Eng.... Itu kan mbak yang tadi aku tabrak?”
Iya, benar. Seorang perempuan yang bertabrakan denganku sekarang ada di hadapanku,
sedang berbicara pada Mr. Nick.
“Ms. Syifa!”
”Eits, kenapa namaku tiba-tiba dipanggil?
Yes, Sir?”
“Ms. Annisa wants
to meet you.”
“Ooo... jadi namanya Annisa....” Aku
lantas maju ke arah perempuan yang sepertinya memang Annisa namanya. Ia lantas
tersenyum padaku, cantik. Kami meminta ijin pada Mr. Nick, dan bergegas ke luar
ruangan. Kami duduk di sebuah bangku panjang di depan kelas. Dengan sedikit
penasaran aku menunggu ia untuk menyampaikan maksudnya menemuiku.
“Dek Syifa....”
“Eh, kupikir ia seangkatan denganku. Iya
mbak. Ada apa ya?”
“Begini, remaja
masjid di kampus ini sedang mencari anggota dalam divisi insan kreatif.
Kebetulan salah seorang anggota menyarankan untuk mengajak Dek Syifa, beliau
mengatakan bahwa Dek Syifa ini memiliki kemampuan di bidang tersebut.”
“Aku? Siapa orang
yang mengusulkannya?” tanyaku sedikit penasaran.
“Akhi Yusuf. Dek
Syifa pasti mengenalnya kan? Grrr....
Orang itu! Pantas saja! Awas aja kalo ketemu!”
“Eh, iya mbak.
Aku kenal kok. Kami sudah saling kenal sejak SMP.”
“Wah, jadi
begitu. Pantas saja ia merekomendasikanmu.”
“Eng... tapi....”
“Kenapa?”
“Emm... nggak
kok, nggak kenapa-kenapa.”
“Jadi bagaimana?
Dek Syifa bersedia?”
“Emm.... Aduh, apa yang harus kukatakan. Menolak
segan, menerima pun rasanya....”
“Ya sudah kalo
gitu. Mungkin Dek Syifa masih butuh waktu. Besok jam 1 siang kami mengadakan
rapat di masjid kampus. Dek Syifa bisa datang ke sana, sekaligus kami menunggu
keputusannya.”
“Emm.... Insyaa
Allah ya mbak, aku usahakan dateng.”
“Baiklah, kalo
gitu saya permisi dulu ya. Terimakasih sudah bersedia meluangkan waktu.”
“Oh, iya. Nggak
masalah kok.” Sambil tersenyum dan beranjak dari bangku ia ucapkan salam
padaku.
“Assalamualaikum....”
“Waalaikumsalam....”
Cantiknya ia.... Pakaiannya rapi dan
indah. Beda banget sama aku. Eits... kak Ucup, awas aja kalo ketemu! Kak
Ucup adalah panggilan yang kuberikan pada kak Yusuf. Sebenarnya ia orang yang
baik, hanya saja aku sering dibuat kesal karena kejahilannya. Sampai saat ini
pun sepertinya ia masih begitu jahil.
***
“Alhamdulillah,
kita kedatangan seseorang yang insyaa Allah akan menjadi anggota baru di sini.
Saya persilahkan anggota baru kita untuk memperkenalkan diri.”
“Ee...
assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam
warahmatullahi wabarakatuh...”
“Umm... nama saya
Syifa, Salsabila Asyifa, angkatan 2010. Terimakasih karena telah memberi saya
kesempatan untuk bergabung di sini. Mohon bantuannya...” Wah, semua orang di sini menyambutku dengan baik, sepertinya aku harus benar-benar berusaha
nih. Hmm, meskipun masih agak kesal karena kak Ucup, tapi akan aku usahakan
dengan sepenuh hati.
*****
Dan setelah itu, setiap harinya, di mana ada
aku, di situlah Annisa. Ia selalu ada untukku, saat suka, duka, selalu ada
untukku. Bahkan dengannya aku mengenal cinta, cinta yang memang sudah
seharusnya dimiliki setiap manusia, cinta pada Ia Yang Mencipta. Tapi, bukan
hanya itu. Bahkan satu cinta lagi telah tumbuh di hatiku, untuk seseorang yang
sama sekali tak kusangka akan kubukakan pintu hatiku.
*****
“Wah, senengnya
yang udah pake toga...” melihat Annisa saat itu membuatku iri. Entah kenapa ia
selalu terlihat cantik di mataku, setiap saat, selalu.
“Eh, sebentar
lagi kan kamu nyusul.”
“Ya, aamiin,
insyaa Allah...”
“Oya, sekalian
nyusul ke pelaminan juga ya?”
“Haa? Kok
pelaminan?”
“He...he.... Iya,
kan mau nikah, masa iya ke terminal....” Annisa menjawabku dengan senyum
jahilnya.
“Mbak Nisa mau
nikah? Kok aku nggak tahu? Ooo, jadi rahasia-rahasiaan nih sekarang...” aku
membalasnya dengan memasang wajah kesal.
“Eeh, ini juga
belum apa-apa. Selain keluarga mbak, kamu itu orang pertama yang mbak kasih
tahu.”
“Hmm, leganya.
Hehe... memang, siapa calonnya?”
“Umm... nanti
kamu juga tahu. Proses khitbahnya baru seminggu yang lalu. Dan insyaa Allah
akan diresmikan satu bulan lagi.”
“Ih kan, masih
aja rahasia. Ya udah deh, ada yang perlu kubantu? Konsep pernikahan mungkin?
Gaun? Or..., anything else?”
“Nggak perlu,
Syifa. Mbak nggak mau pernikahan yang mewah. Cukup dihalalkan sesuai syariat,
dan disaksikan oleh orang-orang yang mbak sayangi, dan kamu salah satunya.”
“Umm... so sweet.... Oke, kalo gitu, seperti
yang selalu mbak ajarkan ke aku, aku akan bantu dengan doa yang tulus dan
ikhlas. Semoga semuanya lancar, berkah, dan menjadi keluarga sakinah, mawadah,
wa rahmah dunia akhirat. Aamiin...”
“Aamiin....
Terimakasih ya... doa yang kamu panjatkan lebih berharga dari hadiah apapun.”
Siapa yang nantinya mendampingi Annisa, aku belum tahu. Meskipun ia bilang
bahwa aku mengenalnya. Tapi aku yakin, ia adalah seorang laki-laki yang baik,
yang pantas menjadi imam bagi seorang bidadari seperti Annisa.
*****
Ya,
itulah saat-saat paling membahagiakan bagi Annisa, begitu pun bagiku.
Dipertemukan dengan bidadari yang
membawa cahaya ke hatiku, aku merasa dianugerahi kesempatan begitu besar dalam
hidup ini. Dalam waktu singkat Annisa menjadi sosok penting dalam hidupku. Dan
tidak berapa lama setelah itu, aku akhirnya tahu, seseorang yang akan menjadi
imam dalam hidupnya. Ia, Yusuf, kak Ucup. Orang yang berhasil membuatku membuka
hati untuk ia tinggali.
“Syifa, tahu nggak salah satu hal yang membuat
mbak mengagumimu?”
“Mbak..mbak...
Nggak kebalik ya? Justru aku yang kagum sama mbak.” Sembari tersenyum Annisa
meraih tanganku.
“Aku mengagumimu
karena ketegaran yang kamu miliki. Satu tetesan mata pun tidak kamu
perlihatkan, tidak pernah kamu tunjukkan satu kesedihan pun yang kamu tunjukkan
pada orang lain. Meskipun aku tahu, saat kamu tersenyum ada kesedihan yang
sedang kamu simpan.” Sungguh, mendengarnya justru membuatku ingin menangis saat
itu. Suaranya yang lembut semakin lembut. Lirih ia ucapkan segala hal padaku,
sungguh sakit batinku melihatnya saat ini. Ia yang selalu ceria, penuh semangat
menemaniku, saat ini hanya mampu terbaring menahan kesakitan, yang bahkan tidak
ia tampakkan.
“Mbak, aku minta
maaf ya, jika selama ini saat mbak menangis, aku nggak bisa menemani mbak
meneteskan air mata....”
“Ssst....’
sembari menggelengkan kepalanya pelan, ia menghentikan bicaraku. ‘Jangan.
Jangan menangis karena tangisku. Kamu adalah sahabat yang kubutuhkan, menghapus
air mataku saat aku menangis. Seperti namamu, Asyifa. Setiap kesedihan dan
kesakitanku, tiba-tiba hilang dengan kehadiranmu. Kamu adalah penawar dalam
setiap keadaanku. Dan, kamu jangan lagi menangis di belakangku.’ Mendengarnya
aku sedikit terkejut.
‘Aku mungkin
tidak melihat tangismu, tapi aku bisa melihat kelelahan di kedua matamu.”
“Iya, benar. Kamu benar Annisa. Mataku
terasa lelah karena tangis, tapi tidak sanggup menahan keduanya meneteskan air
mata.”
“Dan,’ Annisa
menatapku lekat-lekat.
‘Aku meminta satu
hal padamu.”
“Apa itu mbak?
Katakanlah. Insyaa Allah aku akan melakukan semampuku.” Sambil tersenyum Annisa
pun mengatakan permintaannya.
“Jadilah ibu dari
anakku, Furqan.”
“Astaghfirullah!” Kata-kata itu, sekilas
menghentikan nafasku. Tidak ada kata yang bisa kuucapkan untuk menjawab
permintaan Annisa. Aku hanya terdiam, menunggunya untuk berbicara.
“Furqan, nama
yang luar biasa, indah. Aku senang karena saudariku yang cantik ini yang menghadiahi
nama itu. Kumohon, cintai ia seperti engkau mencintaiku, dan... Yusuf.”
“Mbak!’ Lagi-lagi
aku terkejut. Sepertinya, Annisa telah merancang begitu banyak kejutan untukku.
Tapi sayangnya, bukan sesuatu yang kuharapkan.
‘Jangan bicara
lagi. Sudah, cukup mbak!”
“Syifa, sungguh,
aku tahu yang tersimpan dalam hatimu. Aku tahu kamu bahagia melihat kebahagiaan
di wajahku di saat pernikahan itu. Tapi aku juga bisa melihat seberapa kuat
kamu menahan rasa sakit sejak terucap kata halal antara aku dan Yusuf.”
“Mbak, aku mulai
mengerti maksud semua ucapan mbak Nisa. Percayalah mbak, Allah akan memberi
jalan atas semua cobaan ini.”
“Syifa, jangan
khawatir. Aku selalu percaya pada kehendak-Nya. Itu pula yang membuatku selalu
bersyukur bahkan atas kehendak-Nya padaku saat ini. Aku bahagia Syifa. Aku
sungguh bersyukur karena Ia memberiku kesempatan untuk melakukan sesuatu yang
akan membuatmu bahagia.” Ya Allah, aku
tidak mampu lagi berucap. Semua kalimat itu membuatku ingin berlari dan
menangis sepuasnya.
***
“Masyaa Allah...
Syifa?” Annisa tampak terkejut. Hari itu, aku mengenakan busana yang dikenakan
Annisa saat pernikahannya, lengkap dengan kerudung putih yang indah. Hatiku
bukan merasa bahagia, atau pun sedih. Rasanya semua melebur menjadi satu. Ada
sedikit rasa marah yang juga berkecamuk di hatiku, apalagi saat kulihat diriku
di cermin dengan busana itu.
“Kenapa? Aku
nggak pantes ya memakai pakaian ini?”
“Kenapa nggak
pantes? Kamu cantik... banget. Seperti seorang bidadari. Sini, kita foto
bareng.” Sembari menarik tanganku ia tersenyum, lantas merapikan kerudungnya,
kerudung cokelat yang ia kenakan saat pertama kali kami bertemu.
***
“Maaf, Furqan.
Baru sekarang ummi bisa menceritakan semua padamu. Maaf.”
“Ummi, aku marah,
aku juga kesal karena awalnya semua ini membuatku bingung. Tapi, sekarang aku
justru sangat bersyukur. Karena, aku memiliki dua bidadari yang begitu
mencintaiku. Seorang perempuan yang lembut dan penuh kesabaran, yang
memberikanku kekuatan sampai akhir hayatnya, dan seorang lagi yang sampai saat
ini ada untukku, yang selalu menjadi penawar bagi setiap sakitku.”
Dan
tangis pun menetes di kedua pipi merona itu. Seperti air, mengalir begitu saja.
Seperti mata air di surga, mengalir, mengobati setiap luka.

No comments:
Post a Comment